Untuk pembelian pulsa all operator, tiket pesawat semua jurusan, voucher PLN, pembayaran Listrik, air (PDAM), telkom / telpon, kartu HALLO, tagihan speedy, dilayani ketika YM (Yahoo Messenger) kami dalam keadaan ON check di bagian CHAT WITH ME, jika tidak OnLine mohon maaf sementara kami rehat dan melayani pelanggan yang sudah kami verified. Terima kasih

Monday, March 11, 2013

Haruskah mundur dengan "rasa" tidak sempurna?

Salam sobat...
Semangat Pagi...
Dipagi yang mendung (tanpa matahari pagi) hari ini saya blogging walking dan menemukan satu tulisan inspiratif yang akan saya bagikan dan saya rasa, saya bisa mengambil pelajaran dari sini dan kesimpulan yang dari sudut pandang saya sendiri.
Silahkan disimak cerita tentang seseorang yang "merasa tidak sempurna" Semoga bermanfaat.

Tadi malam, dua jam lebih saya berdiskusi dengan istri tentang eksistensi seorang istri. Ternyata banyak wanita yang galau. Mereka ingin eksis, tetapi bingung. Ingin bisnis, takut. Ingin mengejar karir, waktunya tidak seleluasa para pria. Ingin fokus mendidik anak, tetapi kemudian merasa ilmu yang didapat saat kuliah sia-sia.
Banyak wanita yang salah persepsi, mengira eksistensi istri itu dilihat dari penghasilan yang mereka dapatkan. Salah kaprah ini menjadikan tugas tambahan untuk seorang istri menjadi semakin berat. Hal ini terkadang diperparah dengan suami yang sering “memalak” penghasilan istri.
Sebenarnya tugas utama istri itu begitu berat dan mulia. Apa itu? Mendukung suami menjadi lelaki yang hebat dalam karir atau bisnis sekaligus mendidik serta menyiapkan masa depan ana. Peran yang bisa dijalankannya begitu besar, ia manajer di rumah, pelatih, partner, konsultan dan pengayom bagi anggota keluarganya.
Apakah wanita tidak boleh bekerja atau berkarir? Tentu boleh, tetapi setelah tugas utamanya terselesaikan dengan sangat baik. Hal ini dibuktikan dengan karir atau bisnis suaminya berkembang pesat. Anak-anaknya secara pendidikan, mental, spiritual terus tumbuh dan memiliki karakter yang kuat.
Pendidikan berkarakter bagi anak bukan hanya ditentukan prestasi akademik di sekolah, hafal doa dan ayat-ayat pendek dari Kitab Suci, dan menjadi “anak baik” saat diajak bepergian. Tetapi lebih penting dari itu, sentuhan, perhatian dan transfer attitude serta suri tauladan yang bisa dirasakan, dilihat dan didengar seorang anak, terutama dari ibunya.
Dengan tugas yang begitu berat itu, seharusnyalah ia dihormati, dijaga, dimuliakan dan dibayar sangat mahal oleh suaminya. Ia tak harus lelah bekerja, berkarir atau berbisnis. Karena bekerja bukanlah tugas utama seorang istri, maka andai ia berpenghasilan sungguh wajar apabila suami tidak berhak satu rupiahpun atas penghasilan istri. Sang suamipun harus tahu diri dan memiliki rasa malu meminta penghasilan istrinya.
Dari hasil diskusi tadi malam kami berkesimpulan, agar tak galau memang istri perlu aktivitas tambahan. Aktivitas itu tidak harus selalu bekerja, berbisnis atau sesuatu yang menghasilkan uang. Seorang istri harus diberi kesempatan dan dukungan untuk bisa berbagi dan berkontribusi sesuai dengan passionnya agar ia merasa semakin eksis dan kahadirannya di dunia memiliki arti.
Saat istri saya sudah tidur, saya merenung dan berkata dalam hati, “Tugasmu begitu berat, mendukungku dan menemani anak-anak hingga bisa tumbuh seperti sekarang. Tetapi aku merasa penghargaanku kepadamu masih sangat kecil dibandingkan pengorbananmu, maafkan aku istriku, ternyata aku bukan suami yang sempurna.”
Salam SuksesMulia!

Catatan Saya :
Penulis cerita tersebut sungguh luar biasa dan romantis, banyak sentuhan-sentuhan qolbu yang saya dapat dari tulisan beliau.
Terus berusaha menjadi yang terbaik dan berdo'a kepada-Nya agar mendapat Ridho dan Berkah-Nya.

Maaf judul saya rubah versi saya :)
Semoga Bermanfaat

Wednesday, March 6, 2013

Mandikan Alifya Bunda

Cerita ini sungguh membuat ter-enyuh saya, maka saya putuskan untuk saya tulis kembali diblog saya, agar bermanfaat untuk saya atau para pembaca blog saya.

Silahkan Ceritanya dibaca dan diresapi.

Saya ingin bertutur tentang seorang sahabat saya. Sebut saja Rani namanya. Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan digelutinya.
Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, di negerinya bunga tulip, beruntung Rani terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan.
Beruntung pula, Rani mendapat pendamping yang "setara" dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai staf Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar : Alifya.
Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula. Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi.
Saya pernah bertanya , "Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal?" Dengan sigap Rani menjawab : "Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is ok" dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian.
Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya. "Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini "DAPAT MEMAHAMI" orang tuanya. Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Kisah Rani, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak seperti Alif.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby-sitternya. "ALIF INGIN BUNDA MANDIKAN." Ujarnya. Karuan saja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante Mien, baby-sitternya.
Persitiwa ini berulang sampai hampir sepekan, "BUNDA, MANDIKAN ALIF" begitu setiap pagi. Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian.
Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. "Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency". Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah SWT sudah punya rencana lain. Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya.
Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya, shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya.
Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. " INI BUNDA LIF, BUNDA MANDIKAN ALIF " Ucapnya lirih, namun teramat pedih. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, "INI SUDAH TAKDIR, IYA KAN? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan?". Saya diam saja mendengarkan.
“INI KONSEKKUENSI SEBUAH PILIHAN” lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba rani tertunduk. “Aku ibunya……………………!" Serunya kemudian, “BANGUNLAH LIF. BUNDA MAU MANDIKAN ALIF. BERI KESEMPATAN BUNDA SEKALI SAJA LIF” rintihan itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-ngais tanah merah. Air mata kesedihan menyirami pusara Alif, putra satu-satunya yang tak akan pernah kembali lagi. ( nasi telah jadi bubur, yang berlalu tak pernah kembali lagi, penyesalan selalu dating terlambat )